Daerah khusus
Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah
provinsi. Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan
otonomi khusus. Daerah-daerah yang diberikan otonomi khusus ini adalah
- Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
- Aceh[1];
- Provinsi Papua;
dan
- Provinsi Papua Barat.
UU Khusus
Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi
khusus selain diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah
diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.
- Bagi Provinsi DKI Jakarta diberlakukan UU Nomor 29 Tahun 2007
tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu
kota Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- Bagi Aceh diberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan
- Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat diberlakukan UU Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Aceh
Aceh
adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin
oleh seorang Gubernur.
Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh
terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini
tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (
Memorandum of Understanding)
antara Pemerintah dan
Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal
15
Agustus 2005
dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju
pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.
Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:
- Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem
NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan
masing-masing.
- Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan
UU Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan
secara nasional.
- Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak
diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi
terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan
tersebut.
- Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui
pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
- Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan
asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh
tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah
sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
Pengakuan sifat istimewa dan khusus oleh Negara kepada Aceh
sebenarnya telah melalui perjalanan waktu yang panjang. Tercatat
setidaknya ada tiga peraturan penting yang pernah diberlakukan bagi
keistimewaan dan kekhususan Aceh yaitu Keputusan Perdana Menteri
Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi
Aceh, UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh, dan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan
dikeluarkannya UU Pemerintahan Aceh, diharapkan dimanfaatkan
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang
berkesejahteraan di Aceh.
Jakarta
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia menurut
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau
istimewa yang diatur dengan undang-undang. Selain itu, negara mengakui
dan menghormati hak-hak khusus dan istimewa sesuai dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (
Provinsi DKI Jakarta) sebagai satuan
pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya sebagai
Ibu kota
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai daerah otonom memiliki
fungsi dan peran yang penting dalam mendukung penyelenggaraan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena
itu, perlu diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung
jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk itulah Pemerintah
Pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota
Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN 2007 No. 93; TLN 4744). UU ini
mengatur kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara. Aturan
sebagai daerah otonom tingkat provinsi dan lain sebagainya tetap
terikat pada peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah.
Beberapa hal yang menjadi pengkhususan bagi Provinsi DKI Jakarta
antara lain:
- Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
- Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibu
kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah
otonom pada tingkat provinsi.
- Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan
tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai
tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga
internasional.
- Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam kota administrasi dan
kabupaten administrasi.
- Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta berjumlah paling
banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari jumlah maksimal untuk
kategori jumlah penduduk DKI Jakarta sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang.
- Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan
Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gubernur mempunyai hak
protokoler, termasuk mendampingi Presiden dalam acara kenegaraan.
- Dana dalam rangka pelaksanaan kekhususan Provinsi DKI Jakarta
sebagai Ibu kota Negara ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR
dalam APBN berdasarkan usulan Pemprov DKI Jakarta.
Papua dan Papua
Barat
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian
Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui
dan diberikan kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil
pemekaran dari Provinsi Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan
hak-hak dasar masyarakat Papua. Otonomi ini diberikan oleh Negara
Republik Indonesia melalui
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (LN 2001 No. 135 TLN No 4151).Hal-hal
mendasar yang menjadi isi Undang-undang ini adalah:
- Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan
Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di
Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;
- Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli
Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan
- Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik
yang berciri:
- partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan
pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum
perempuan;
- pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk
memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk
Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip
pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan
bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan
- penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang
transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat.
- Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang
tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta
Majelis Rakyat Papua sebagai
representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan
tertentu.
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk
mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap
HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan
kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan
dengan kemajuan provinsi lain. Otonomi khusus melalui UU 21/2001
menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai
subjek utama. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras
Melanesia
yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang
diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.
Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan
yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.
Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk
memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat. Undang-undang ini
juga mengandung semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara
lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan
komisi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang
terjadi di masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan
nasional Indonesia di Provinsi Papua.
Sumber
- UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia
- UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh
- UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
- UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
Catatan
- ^ Nama (nomenklatur) yang digunakan menurut Pasal 1
angka 2 UU 11/2006 adalah ACEH; tanpa ada kata "provinsi" maupun
frasa "daerah istimewa"
- ^ Aceh ditempatkan kembali di artikel daerah
khusus (dan juga daerah istimewa) karena Aceh adalah satu-satunya daerah
di Indonesia yang bersifat istimewa dan diberi otonomi khusus; "Aceh
adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat
istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk ...." Pasal 1
angka 2 UU 11/2006
Daerah istimewa
[1]Negara
Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dalam sejarah
ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat perkembangan definisi
mengenai daerah istimewa mulai dari
BPUPKI (1945) sampai dengan pengaturan dan
pengakuan keistimewaan Aceh (2006) dan Yogyakarta (2012). Perkembangan
definisi inilah yang menyebabkan perbedaan penafsiran mengenai
pengertian dan isi keistimewaan suatu daerah, yang pada akhirnya
menyebabkan pembentukan, penghapusan, dan pengakuan kembali suatu daerah
istimewa.
Konsep Dasar
Konsep dasar daerah istimewa adalah konsep-konsep yang muncul dalam
persidangan pendiri bangsa dalam BPUPKI dan
PPKI,
UUD 1945 asli,
Konstitusi
RIS 1949,
UUD
Sementara 1950, dan UUD 1945 setelah amandemen.
BPUPKI dan PPKI
Perdebatan mengenai apa itu daerah istimewa sebenarnya diawali dari
voting bentuk negara Indonesia dalam sidang BPUPKI
[2].
Keadaan tersebut berlanjut dalam diskusi para bapak pendiri bangsa
mengenai bentuk negara
[3].
Akhirnya dicari jalan tengah untuk kedudukan daerah yang berstatus
zelfbesturende
landchappen dalam lingkungan negara Indonesia dengan memunculkan
ide daerah istimewa.
Namun demikian dalam sidang BPUPKI ada penyamaan antara
zelfbesturende
landchappen dan
volksgemeinschaften. Dengan demikian tidak
hanya kesultanan maupun kerajaan, namun juga daerah mempunyai susunan
asli, seperti desa di
Jawa dan
Bali, negeri di
Minangkabau, dusun dan marga di
Palembang dan sebagainya yang dapat ditetapkan
sebagai daerah yang bersifat istimewa
[4].
Negara menghormati dan memperhatikan susunan asli daerah tersebut.
Namun demikian belum ada bentuk jelas bagaimana daerah istimewa
tersebut.
Dalam sidang PPKI konsepnya tidak jauh berbeda.
Zelfbesturende
landchappen ditegaskan hanya sebagai daerah bukan sebagai negara.
Kesitimewaannyapun dikaitkan dengan susunan asli dari daerah tersebut.
Demikian pula susunan asli
zelfstandige gemeenschappen/Inheemsche
Rechtsgemeenschappen seperti negeri di Minangkabau dihormati susunan
aslinya. Panitia kecil yang dibentuk PPKI tidak memajukan usul apapun
mengenai daerah istimewa
[5].
PPKI memutuskan kedudukan daerah istimewa (
Kooti – bahasa waktu
itu) untuk sementara ditetapkan tidak ada perubahan dan penyelesaian
selanjutnya diserahkan pada presiden
[6].
Di luar sidang PPKI, Presiden Indonesia menetapkan empat piagam
kedudukan untuk empat penguasa Jawa
[7].
UUD 1945 asli
Daerah istimewa dalam UUD 1945 asli diatur dalam bab VII pasal 18
mengenai pemerintahan daerah
[8].
Tidak banyak yang diberikan keterangan dalam pasal tersebut selain
persyaratan “hak asal-usul” dan istilah “daerah yang bersifat istimewa”
[9].
Jika ditilik dari peristilahan maka daerah istimewa pada waktu itu
dekat dengan istilah daerah otonomi khusus saat ini. Hanya saja
pemberian otonomi khusus tersebut diberikan untuk daerah-daerah yang
berstatus
“zelfbesturende landchappen dan
volksgemeenschappen”
pada zaman Hindia Belanda
[10].
Sayang tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai daerah-daerah mana
saja yang berstatus khusus tersebut.
Konstitusi RIS
1949
Istilah daerah istimewa hanya muncul sekali dalam konstitusi RIS.
Itupun hanya menyangkut satu daerah yang berstatus sebagai “Satuan
Kenegaraan Yang Tegak Sendiri”
[11].
Dalam konstitusi ini muncul istilah Daerah
Swapraja
sebagai ganti istilah
Zelfbesturende landchappen. Ada empat
pasal yang mengatur daerah swapraja pada konstitusi tersebut, mulai dari
pasal 64-67
[12].
Dalam konstitusi tersebut ditegaskan Negara mengakui semua swapraja
yang ada. Kedudukan swapraja sangat kuat. Pengaturan daerah swapraja
diserahkan pada daerah bagian yang memiliki daerah swapraja tersebut
dengan perjanjian politik, bukan dengan Undang-undang daerah bagian.
Pengurangan maupun penghapusan wilayah atau kekuasaan daerah swapraja
memerlukan kuasa Undang-undang Federal RIS. Semua pejabat Indonesia yang
bertugas di daerah swapraja diganti oleh pejabat daerah swapraja yang
bersangkutan. Segala perselisihan yang terjadi antara daerah bagian dan
daerah swapraja diputus oleh
Mahkamah Agung Federal.
UUD Sementara 1950
Sama seperti Konstitusi RIS, dalam UUD Sementara hanya muncul istilah
daerah swapraja. Namun demikian pengaturannya yang berbeda dengan
Konstitusi RIS. Dalam UUD ini daerah swapraja diatur dalam pasal 132-133
[13].
Kedudukan daerah swapraja diatur dengan Undang-undang, dengan
pengertian keinginan daerah swapraja akan dipertimbangkan oleh
pemerintah
[14].
Pemerintahan di daerah swapraja harus berdasarkan
otonomi, permusyawaratan, dan perwakilan rakyat
dalam kerangka negara kesatuan. Daerah swapraja dapat dihapus atas
perintah Undang-undang. Perselisihan yang terjadi antara pemerintah
mengenai undang-undang yang mengatur daerah swapraja dan peraturan
pelaksanaannya diadili oleh pengadilan perdata. Semua pejabat daerah
bagian RIS diganti dengan pejabat Indonesia.
UUD 1945
Setelah Amandemen
Pada tahun 2000, melalui Perubahan Kedua UUD, pasal 18 asli
diamandemen menjadi pasal 18, 18A, dan 18B. Pengaturan daerah istimewa
ditempatkan dalam pasal 18B ayat (1)
[15].
Istilah yang digunakan juga berbeda menjadi “satuan pemerintahan daerah
yang bersifat istimewa”. Pengaturannya didasarkan pada undang-undang,
tanpa merinci syarat suatu daerah istimewa. Selain itu dalam pasal ini
dibedakan antara “satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa” dan
“satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus”
[16].
Konsep Pelaksanaan
Konsep pelaksanaan daerah istimewa adalah konsep-konsep yang muncul
dalam undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah secara umum
sebagai pelaksanaan pasal (atau pasal-pasal) mengenai pemerintahan
daerah dalam konstitusi. Konsep ini disusun secara kronologis, meliputi
UU 22/1948 (UUD 1945 asli), UU 1/1957 (UUD Sementara 1950), UU 18/1965,
UU 5/1974, UU 22/1999 (ketiganya UUD 1945 asli), dan UU 32/2004 (UUD
1945 amandemen).
UU 22/1948
Undang-undang yang mengatur daerah istimewa pertama kali adalah UU
22/1948 mengenai
Pemerintahan Daerah.
Dalam undang-undang ini, syarat utama daerah istimewa adalah daerah
yang telah memiliki pemerintahan sendiri sebelum adanya Republik
Indonesia (
zelfbestuur)
[17].
Sedangkan bentuk keistimewaannya adalah terletak pada kepala daerahnya
[18].
Kepala daerah istimewa merupakan penguasa monarki
[19].
Selain itu dalam daerah istimewa yang terdiri atas gabungan dua
zelfbestuur
diangkat wakil kepala daerah
[20].
Selain itu daerah istimewa memiliki tingkatan daerah istimewa setingkat
provinsi, setingkat kabupaten, dan setingkat desa
[21]
[22]
.
UU 1/1957
Undang-undang 1/1957 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah
merupakan undang-undang yang disusun sebagai pelaksanaan pasal 131 dan
132 UUD Sementara 1950
[23].
Dalam undang-undang ini, syarat utama daerah istimewa adalah daerah
yang berkedudukan sebagai daerah swapraja dan dengan mengingat
pentingnya posisi daerah tersebut dalam kepentingan nasional dan
perkembangan masyarakat
[24].
Keistimewaannya tetap berada pada kepala daerahnya
[25]
[26].
Selain itu dapat pula diangkat wakil kepala daerah
[27].
Penetapan daerah swapraja menjadi daerah istimewa sebenarnya pemberian
bentuk baru kepada swapraja tersebut sekaligus merupakan penghapusan
pemerintahan swapraja itu
[28].
UU 18/1965
Berbeda dengan dua undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya,
Undang-undang 18/1965 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah,
merupakan titik balik bagi daerah istimewa
[29].
Semua daerah swaparaja yang masih ada dihapus
[30].
Hanya Aceh dan Yogyakarta yang diakui sebagai daerah istimewa, itupun
hanya sampai waktu tertentu
[31].
Daerah istimewa tidak diatur dalam bab khusus namun hanya ditempatkan
pada aturan peralihan. Pemerintah mendesain untuk menghapuskan daerah
istimewa secara pelan namun pasti
[32].
Dengan demikian akhirnya semua daerah di Indonesia sama kedudukannya
dan hanya ada satu daerah khusus, Jakarta
[33].
UU 5/1974
Kebijakan pemerintah
Orde Baru meneruskan kebijakan dari
Orde lama, bahkan lebih sistematis untuk
menghapus daerah istimewa. Hanya Daerah Istimewa Yogyakarta yang
disebutkan secara tegas dalam aturan peralihan Undang-undang 5/1974
[34].
Nama Aceh sebagai daerah istimewa tidak satupun disebut dalam
undang-undang tersebut. Alih-alih DKI Jakarta diberi jaminan untuk
diatur dengan undang-undang tersendiri
[35].
UU 22/1999
Walaupun reformasi mulai berjalan namun kedudukan daerah istimewa
semakin miris. Penyelenggaraan pemerintahan di semua daerah diberlakukan
sama, tidak terkecuali
Aceh dan
Yogyakarta [36].
Jaminan keistimewaan hanya diletakkan pada penjelasan sehingga
kedudukannya tidak sekuat jaminan di dalam pasal-pasal
[37].
Hanya DKI Jakarta yang diberi kekhususan sebagai Ibukota Negara
[38].
Selain itu Provinsi Timor Timur juga akan diberi otonomi khusus sebagai
opsi untuk mencegah separatisme di daerah bekas koloni Portugis itu
[39]
[40].
Di sisi lain muncul konsep baru bahwa yang dimaksud daerah istimewa
adalah desa, bukan
zelfbestuur [41].
Konsep UU 32/2004
Pasca perubahan UUD 1945, daerah istimewa tidak sendiri lagi dengan
adanya daerah khusus
[42].
Walaupun demikian, daerah istimewa hanya diterjemahkan sebagai Daerah
Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta
[43].
Sebagaimana undang-undang pemerintahan daerah semenjak 1965,
undang-undang ini pun daerah istimewa hanya diatur dalam bab xiv
ketentuan lain-lain pasal 225-227. Undang-undang ini mensyaratkan daerah
yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus harus diatur
dengan undang-undang tersendiri
[44].
Semua ketentuan dalam undang-undang ini, sepanjang tidak diatur dalam
undang-undang tersendiri, berlaku juga bagi daerah yang memiliki status
istimewa dan diberikan otonomi khusus
[45].
Dari semua daerah istimewa dan daerah khusus hanya Aceh, DKI Jakarta,
dan Papua yang memiliki UU tersendiri
[46].
Sementara itu Yogyakarta yang tidak diatur dengan UU tersendiri, harus
tunduk pada semua pengaturan undang-undang ini
[47].
Dari kenyataan ini keistimewaan Yogyakarta hanya tinggal nama
[48].
Konsep Teknis
Konsep teknis daerah istimewa adalah konsep-konsep yang muncul dalam
undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah istimewa secara khusus
sebagai pelaksanaan pasal (atau pasal-pasal) mengenai pemerintahan
daerah dalam konstitusi dan dalam peraturan perundang-undangan yang
lain. Konsep teknis ini meliputi UU 44/1999 dan UU 11/2006 untuk Aceh,
serta UU 13/2012 untuk DIY.
UU 44/1999
UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh merupakan undang-undang pertama yang khusus mengatur Aceh.
Undang-undang ini termasuk undang-undang pendek, sebab hanya terdiri
dari 13 pasal.
Dalam undang-undang ini keistimewaan [Aceh] didefinisikan sebagai
kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat,
pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah
[49].
Keistimewaan [Aceh] merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang
diberikan kepada Aceh karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki
masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan
spiritual, moral, dan kemanusiaan
[50].
Adapun penyelenggaraan keistimewaan meliputi penyelenggaraan
kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan
pendidikan, dan peran
ulama dalam penetapan kebijakan Aceh
[51].
Aceh diberi kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaan
yang dimiliki dengan Peraturan Daerah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
[52].
UU 11/2006
UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan perpaduan harmonis
antara UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh dan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang undang ini
termasuk undang-undang yang panjang sebab memiliki 273 pasal. Dalam UU
ini, tidak ada definisi baru mengenai keistimewaan Aceh. Namun langsung
kepada urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh
merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh
[53].
Selain itu keistimewaan Aceh juga dinikmati oleh
Kabupaten
dan
Kota
di lingkungan Aceh
[54].
UU 13/2012
UU 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan
undang-undang pengakuan kembali keistimewaan Yogyakarta, setelah 47
tahun keistimewaan Yogyakarta mati segan hidup tak mau. Undang undang
ini termasuk undang-undang yang menengah, berisi 51 pasal dan termasuk
salah satu undang-undang yang terlama pembahasannya (2007-2012). Versi
resmi dari pemerintah meliputi versi 2007 (Depdagri-JIP UGM) dan versi
2010.
Keistimewaan Yogyakarta didefinisikan sebagai keistimewaan kedudukan
hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal usul
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk
mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan Istimewa merupakan
wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.
Sebagaimana
DKI Jakarta, kewenangan
istimewa DIY terletak pada level
provinsi
[55].
Kewenangan istimewa DIY meliputi: (a). tata cara pengisian jabatan,
kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; (b).
kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; (c). kebudayaan; (d). pertanahan; dan
(e). tata ruang. DIY diberikan kewenangan untuk mengatur urusan
keistimewaan dengan Perdais (Peraturan Daerah Istimewa)
[56].
Daerah-daerah
Istimewa di Indonesia
Daerah-daerah istimewa di Indonesia adalah daerah maupun entitas
hukum yang memiliki status istimewa di wilayah Indonesia, baik karena
hak asal-usulnya maupun sejarahnya, baik yang dibentuk maupun hanya
sekedar diakui, baik oleh Negara Indonesia maupun oleh
Pemerintah Kolonial Belanda.
Aceh
(1959-sekarang)
Aceh
adalah daerah Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang
Gubernur
[57].
Aceh menerima status istimewa pada 1959, tiga tahun setelah pembentukan
kembali pada 1956
[58],
dan sepuluh tahun sejak pembentukan pertama 1949
[59].
Status istimewa diberikan kepada Aceh dengan Keputusan Perdana Menteri
Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959, yang isi keistimewaannya meliputi
agama, peradatan, dan pendidikan. Namun demikian pelaksanaan
keistimewaan tidak berjalan dengan semestinya dan hanya sebagai
formalitas belaka
[60].
Pasca penerbitan UU 44/1999 keistimewaan Aceh meliputi
penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama
dalam penetapan kebijakan Daerah. Keistimewaan di bidang penyelenggaraan
kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi
pemeluknya di Aceh, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat
beragama, meliputi:
ibadah, ahwal alsyakhshiyah
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana),
qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan
Islam
[61].
Keistimewaan di bidang penyelenggaraan kehidupan adat meliputi Lembaga
Wali Nanggroe dan Lembaga Adat Aceh (misal Majelis Adat Aceh, Imeum
mukim, dan Syahbanda)
[62].
Keistimewaan di bidang pendidikan meliputi penyelenggaraan pendidikan
yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan
syari’at Islam serta menyelenggarakan pendidikan madrasah ibtidaiyah dan
madrasah tsanawiyah
[63].
Keistimewaan di bidang peran ulama meliputi
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan
Kabupaten/Kota yang memiliki tugas dan wewenang untuk memberi fatwa baik
diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan,
pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan memberi arahan
terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan
[64].
Berau
(1953-1959)
Daerah Istimewa
Berau adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di
dalam lingkungan
Provinsi Kalimantan. Daerah Istimewa Berau dibentuk oleh
negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten
Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang dimilikinya.
Daerah Istimewa Berau terdiri atas swapraja
Sambaliung dan swapraja
Gunung-Tabur.
Keistimewaan Daerah Istimewa Berau meliputi pengangkatan Kepala Daerah
Istimewa. Kepala Daerah Istimewa Berau dijabat oleh
Sultan
Muhammad Amminuddin. Daerah Istimewa Berau dihapus dengan UU
27/1959 tentang Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan
Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan Kabupaten
Berau di dalam lingkungan
Provinsi
Kalimantan Timur.
Bulongan
(1953-1959)
Daerah Istimewa
Bulongan adalah daerah istimewa
setingkat kabupaten di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan. Daerah
Istimewa Bulongan dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU Darurat
3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan
karena hak asal usul yang dimilikinya. Daerah Istimewa Bulongan terdiri
atas swapraja Bulongan. Keistimewaan Daerah Istimewa Bulongan meliputi
pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala Daerah Istimewa Bulongan
dijabat oleh Sultan Maulana Muhammad Jalaluddin, sampai mangkat beliau
pada 1958. Daerah Istimewa Bulongan dihapus dengan UU 27/1959 tentang
Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat
II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan Kabupaten Bulongan di dalam
lingkungan Provinsi Kalimantan Timur. Kini wilayah bekas Daerah Istimewa
Bulongan, yang meliputi kabupaten-kabupaten
Bulungan,
Malinau,
Nunukan,
Tana Tidung, dan Kota
Tarakan, dibentuk satu provinsi,
Provinsi
Kalimantan Utara pada 17 November 2012, terpisah dari Provinsi
Kalimantan Timur.
Kalimantan
Barat (1946-1950)
Daerah Istimewa
Kalimantan Barat adalah Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri
dalam lingkungan
Republik Indonesia Serikat yang
berkedudukan sebagai daerah istimewa. Daerah Istimewa Kalimantan Barat
dibentuk oleh
Pemerintah Sipil Hindia Belanda pada
28
Oktober 1946
sebagai Dewan Borneo Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah
Istimewa pada 12 Mei 1947
[65].
Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi Swapraja
Sambas, Swapraja
Pontianak, Swapraja
Mampawah,
Swapraja
Landak,
Swapraja
Kubu,
Swapraja
Matan, Swapraja
Sukadana, Swapraja
Simpang,
Swapraja
Sanggau, Swapraja
Tayan, Swapraja
Sintang, Neo-swapraja
Meliau,
Neo-swapraja
Pinoh, dan
Neo-swapraja
Kapuas Hulu [66].
Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat adalah Sultan Swapraja
Pontianak,
Hamid II
Algadrie [67].
Sebelum 5 April 1950 Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri Daerah
Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Bagian Republik
Indonesia (RI-Yogyakarta)
[68].
Daerahnya kemudian menjadi bagian dari Provinsi Administratif
Kalimantan
[69].
Kini wilayah Daerah Istimewa Kalimantan Barat menjadi Provinsi
Kalimantan Barat yang telah dibentuk pada tahun 1956
[70].
Kutai
(1953-1959)
Daerah Istimewa
Kutai adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di
dalam lingkungan
Provinsi Kalimantan. Daerah Istimewa Kutai dibentuk oleh
negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten
Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang dimilikinya.
Daerah Istimewa Kutai terdiri atas swapraja Kutai. Keistimewaan Daerah
Istimewa Kutai meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala
Daerah Istimewa Kutai dijabat oleh
Sultan
A.M. Parikesit. Daerah Istimewa Kutai dihapus dengan UU 27/1959
tentang Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah
Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan
Kabupaten Kutai,
Kota Balikpapan, dan
Kota Samarinda di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan
Timur. Kini wilayah bekas Daerah Istimewa Kutai meliputi Kabupaten
Kutai Kertanegara, Kabupaten
Kutai Barat, Kabupaten
Kutai Timur, Kota Balikpapan, Kota Samarinda,
dan Kota
Bontang di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan
Timur
[71].
Surakarta
(1945-1946)
Daerah Istimewa Surakarta adalah
Kasunanan Surakarta dan
Praja Mangkunegaran yang diakui Negara Indonesia
sebagai daerah yang memiliki sifat istimewa berdasarkan kedudukan kedua
daerah tersebut sebagai
Kooti. Pengakuan ini didasarkan atas
Piagam Penetapan Presiden RI tertanggal
19
Agustus 1945.
Karena perselisihan kedua kerajaan yang ada, Kepala Daerah Istimewa
dipegang oleh Komisaris Tinggi yang dijabat oleh Gubernur
RP Suroso
[72]
[73],
yang kemudian Gubernur Suryo
[74]
[75].
Karena berbagai alasan, baik persaingan dua kerajaan, politik,
keamanan, Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor
16/SD/1946 pada 15 Juli 1946, yang pada pokoknya berisi mengenai bentuk
dan susunan pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta, yang satu
diantaranya menjadikan Daerah Istimewa Surakarta sebagai Karesidenan
biasa dibawah Pemerintah Pusat
[76].
Kini wilayah bekas Daerah Istimewa Surakarta, yang meliputi Kabupaten
Sukoharjo, Kabupaten
Klaten, Kabupaten
Boyolali, Kabupaten
Sragen, Kabupaten
Karanganyar, dan Kabupaten
Wonogiri, serta Kota
Surakarta, menjadi bagian Provinsi
Jawa
Tengah, yang dibentuk pada 1950
[77].
Yogyakarta
(1945-sekarang)
Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut DIY, adalah daerah
provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan dalam kerangka
Negara
Kesatuan Republik Indonesia [78].
Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY
berdasarkan sejarah dan hak asal usul
[79]
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk
mengatur dan mengurus kewenangan istimewa
[80].
Kewenangan Istimewa adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY
selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang
pemerintahan daerah
[81].
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah istimewa sejak
pembentukannya secara
de jure tahun 1950
[82],
maupun sejak pengakuannya secara
de facto pada 1945
[83].
Dalam undang-undang pembentukan DIY
[84],
DIY berkedudukan hukum sebagai daerah istimewa setingkat provinsi.
Sedang keistimewaannya terletak pada pengangkatan kepala daerah istimewa
dan wakil kepala daerah istimewa dari Sultan dan Paku Alam yang
bertahta. Namun demikian, bentuk keistimewaan DIY tidak dicantumkan
dalam undang-undang pembentukan tetapi hanya dalam undang-undang
pemerintahan daerah yang mengatur semua daerah di Indonesia secara umum
[85].
Dengan realitas ini, pada tahun 1965 kedudukan hukum DIY diturunkan
menjadi daerah provinsi biasa
[86],
dan akhirnya pada tahun 1999 dan 2004 keistimewaan DIY memasuki wilayah
kekosongan hukum
[87].
Pasca penerbitan UU 13/2012, keistimewaan DIY meliputi (a). tata cara
pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil
Gubernur; (b). kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; (c). kebudayaan; (d).
pertanahan; dan (e). tata ruang
[88].
Keistimewaan dalam bidang tata cara pengisian jabatan, kedudukan,
tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur antara lain syarat
khusus bagi calon gubernur DIY adalah Sultan Hamengku Buwono yang
bertahta, dan wakil gubernur adalah Adipati Paku Alam yang bertahta.
Gubernur
dan Wakil Gubernur memiliki kedudukan, tugas, dan wewenang sebagaimana
Gubernur dan Wakil Gubernur lainnya, ditambah dengan penyelenggaran
urusan – urusan keistimewaan
[89].
Kelembagaan dalam bidang kelembagaan Pemerintah Daerah DIY yaitu
penataan dan penetapan kelembagaan, dengan Perdais, untuk mencapai
efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
masyarakat berdasarkan prinsip responsibilitas, akuntabilitas,
transparansi, dan partisipasi dengan memperhatikan bentuk dan susunan
pemerintahan asli
[90].
Keistimewaan dalam bidang kebudayaan yaitu memelihara dan
mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang berupa
nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi
luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY, yang diatur dengan perdais
[91].
Keistimewaan dalam bidang pertanahan yaitu Kasultanan dan Kadipaten
berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan tanah
Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan,
kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat
[92].
Keistimewaan dalam bidang tata ruang yaitu kewenangan Kasultanan dan
Kadipaten dalam tata ruang pada pengelolaan dan pemanfaatan tanah
Kasultanan dan tanah Kadipaten
[93].
Serba
serbi daerah istimewa
Aceh
- Satu-satunya daerah isimewa yang diberi otonomi
khusus
- Satu-satunya daerah isimewa yang masih ada yang mendapat
keistimewaan bukan karena hak asal-usul.
- Satu-satunya daerah isimewa yang ada di pulau Sumatera.
- Daerah isimewa yang terakhir dibentuk (1959).
Berau
- Daerah isimewa setingkat kabupaten yang memiliki wilayah terkecil
Bulongan
- Satu-satunya bekas daerah istimewa setingkat kabupaten yang bekas
wilayahnya dijadikan satu provinsi tersendiri.
Kalimantan Barat
- Satu-satunya daerah istimewa yang namanya disebut secara jelas dalam
konstitusi.
- Daerah istimewa dengan anggota swapraja terbanyak (14 swapraja).
Kutai
- Satu-satunya daerah istimewa setingkat kabupaten yang daerahnya
langsung dimekarkan menjadi satu kabupaten dan dua kota begitu
dibubarkan.
Surakarta
- Daerah istimewa yang pertama kali dibubarkan (1946).
- Daerah istimewa yang memiliki usia terpendek (10 bulan 3 minggu 5
hari).
- Satu-satunya daerah isimewa yang hanya diakui secara de facto
(tidak dibentuk dengan konstitusi atau undang-undang atau peraturan
yang setingkat)
Yogyakarta
- Satu-satunya daerah isimewa yang masih ada, yang mendapat sifat
istimewa sejak dibentuk dengan undang-undang.
- Satu-satunya daerah isimewa yang memiliki hak asal usul yang masih
bertahan (sejak 1945; pada saat UU Keistimewaan DIY disahkan pada 31
Agustus 2012, DIY berusia 67 tahun 1 minggu 5 hari).
- Satu-satunya daerah isimewa yang dibentuk oleh negara bagian
Republik Indonesia.
- Daerah istimewa yang undang-undang khususnya diajukan paling awal
namun mendapat persetujuan paling akhir (Tahun 1946 dan 2001 diajukan
oleh Yogyakarta tetapi tidak dibahas. Tahun 2007 diajukan oleh
pemerintah. Tahun 2010 diajukan kembali oleh pemerintah. Disetujui pada
2012)
Tempat Obyek Wisata Tiap Provinsi di Seluruh Indonesia