div.TabView div.Tabs {height: 30px;overflow: hidden} div.TabView div.Tabs a {float:left; display:block; width: 73px; /* Lebar Menu Utama Atas */ text-align:center ; height: 30px; /* Tinggi Menu Utama Atas */ padding-top:5px; vertical-align:middle; border:1px solid #95CAFF; /* Warna border Menu Atas */ border-bottom-width:0; text-decoration: none;font-size:12px; font-family: "Arial";/* Font Menu Utama Atas */} div.TabView div.Tabs {background:#FFF;color:#000;border:1px solid #95CAFF;text-decoration:none;} div.TabView div.Tabs a:hover{background:#585858;color:#FFF;border:1px solid #95CAFF;text-decoration:none;} div.TabView div.Tabs a.Active{border:1px solid #00F; background:#95CAFF; color:#00F;font-style: normal;border:1px solid #95CAFF;text-decoration:none;/* Warna background Menu Utama Atas */ } div.TabView div.Pages {clear:both; border:1px solid #95CAFF; /* Warna border Kotak Utama */ overflow:hidden; background-color:#95CAFF; /* Warna background Kotak Utama */ } div.TabView div.Pages div.Page {height:100%; padding:0px; overflow:hidden} div.TabView div.Pages div.Page div.Pad {padding: 5px 5px} #navbar-iframe { height:0px; visibility: hidden; display: none; }

Friday, August 30, 2013

Surakarta History

Sejarah Surakarta


Surakarta berkembang dari wilayah suatu desa bernama Desa Sala, di tepi Bengawan Solo. Sarjana Belanda yang meneliti Naskah Bujangga Manik, J. Noorduyn, menduga bahwa Desa Sala ini berada di dekat (kalau bukan memang di sana) salah satu tempat penyeberangan ("penambangan") di Bengawan Solo yang disebut-sebut dalam pelat tembaga "Piagam Trowulan I" (1358, dalam bahasa Inggris disebut "Ferry Charter") sebagai "Wulayu". Naskah Perjalanan Bujangga Manik yang berasal dari sekitar akir abad ke-15 menyebutkan bahwa sang tokoh menyeberangi "Ci Wuluyu". Pada abad ke-17 di tempat ini juga dilaporkan terdapat penyeberangan di daerah "Semanggi"[1] (sekarang masih menjadi nama kampung/kelurahan di Kecamatan Pasarkliwon).

Pendirian dan perkembangan

Kejadian yang memicu pendirian kota ini adalah berkobarnya pemberontakan Sunan Kuning ("Gègèr Pacinan") pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II, raja Kartasura tahun 1742. Pemberontakan dapat ditumpas dengan bantuan VOC dan keraton Kartasura dapat direbut kembali, namun dengan pengorbanan hilangnya beberapa wilayah warisan Mataram sebagai imbalan untuk bantuan yang diberikan VOC. Bangunan keraton sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I) dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini. (Catatan-catatan lama menyebut bentuk antara "Salakarta"[2]). Pembangunan keraton ini menurut catatan[siapa?] menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Surat Perjanjian Giyanti dari tahun 1755 yang sekarang disimpan di Arsip Nasional RI.
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwono III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian Salatiga 1757 memperluas wilayah kota ini, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I). Sejak saat itu, Sala merupakan kota dengan dua sistem administrasi, yang berlaku hingga 1945, pada masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Masa kolonial Belanda 1757-1942

Surakarta pada masa kolonial Belanda merupakan daerah Vorstenlanden atau swapraja, yaitu daerah yang berhak memerintah sendiri / tidak diatur oleh UU seperti daerah lain tetapi diatur dengan kontrak politik antara Gubernur Jenderal dan Sri Sunan. Ada dua macam kontrak politik, yaitu kontrak panjang tentang kesetaraan kekuasaan keraton dengan Belanda, dan pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Kasunanan Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara Mangkunegaran diatur dalam pernyataan pendek.[3]
Sejak Gubernur Jenderal G.J. Van Heutz (1851-1924), setiap terjadi pergantian raja, maka diadakan pembaharuan kontrak. Kontrak terakhir untuk Kasunanan diatur dalam S 1939/614, sedangkan untuk Mangkunegaran diatur dalam S 1940/543. [3]

Masa pendudukan Jepang 1942-1945

Surakarta pada masa pendudukan Jepang merupakan daerah Kochi atau daerah istimewa. Sri Sunan disebut sebagai Surakarta Koo dan Mangkunegara disebut sebagai Mangkunegoro Koo. Pemerintahan Surakarta disebut sebagai Kooti Sumotyookan. Ketika Jepang mengalami banyak kekalahan dalam Perang Dunia II, maka Jepang mendorong pembentukan badan-badan yang merancang kemerdekaan Indonesia, yaitu BPUPKI dan PPKI. Surakarta sebagai daerah kochi diikutkan dalam keanggotaan BPUPKI dalam merancang UUD 1945. Anggota BPUPKI dari Surakarta adalah Wongsonegoro, Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman Widyodiningrat.[3]

Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949

Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah Surakarta kehilangan hak otonominya. Pada masa perang revolusi, Pakubuwana XII naik takhta hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 1 September 1945, Sri Sunan Pakubuwana XII mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negeri Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan pusat RI. Pada tanggal 6 September 1945 pemerintah RI memberikan piagam kedudukan kepada Sri Sunan Pakubuwana XII yang ditandatangani oleh Soekarno dan tertanggal 19 Agustus 1945.[3]
Komitmen pemerintah untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa ditunjukkan dengan diangkatnya Panji Suroso tanggal 19 Oktober 1945 sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat istimewa. Pengakuan tersebut masih diperkuat lagi dengan pemberian pangkat militer kepada Sri Sunan Pakubuwana XII dengan pangkat Letnan Jenderal pada tanggal 1 November 1945.[3]
Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda.
Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Sukarno selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman.
Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.
Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang disandang Surakarta. Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kasunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai simbol saja.
Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.

D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka

Begitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, pemimpin Mangkunegaran (Mangkunegara VIII dan Susuhunan Sala (Pakubuwana XII) mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa wilayah Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan) adalah bagian dari RI. Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).[rujukan?]
Pada Oktober 1945, terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS, dan menghapus Mangkunegaran dan Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari dikenal sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke petani (landreform) oleh gerakan komunis.[rujukan?]
Tanggal 17 Oktober 1945, wazir (penasihat raja) Susuhunan, KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat Mangkunegara dan Susuhunan. Bulan Maret 1946, wazir yang baru, KRMT Yudonagoro, juga diculik dan dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal 16 Juni 1946 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan politik Mangkunegaran dan Kasunanan. Sejak saat itu keduanya kehilangan hak otonom menjadi suatu keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya dibentuk Karesidenan Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran kota Surakarta.
Tanggal 26 Juni 1946 terjadi penculikan terhadap PM Sutan Syahrir di Surakarta oleh sebuah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka, dari Partai Komunis Indonesia. PM Syahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Presiden Soekarno sangat marah atas aksi pemberontakan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan pemberontak. Tanggal 1 Juli 1946, ke 14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Namun, pada tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14-pimpinan pemberontak.
Presiden Soekarno lalu memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak. Namun demikian Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (bahasa Belanda koppig).[4]
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden, setelah Letkol. Soeharto berhasil membujuk mereka untuk menghadap Presiden Soekarno. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal. PM Syahrir berhasil dibebaskan dan Mayjen Soedarsono serta pimpinan pemberontak dihukum penjara walaupun beberapa bulan kemudian para pemberontak diampuni oleh Presiden Soekarno dan dibebaskan dari penjara.

Serangan Umum 7 Agustus 1949

Dari tahun 1945 sampai 1948, Belanda berhasil menguasai kembali sebagian besar wilayah Indonesia (termasuk Jawa), kecuali Yogyakarta, Surakarta dan daerah-daerah sekitarnya.
Pada Desember 1948, Belanda menyerbu wilayah RI yang tersisa, mendudukinya dan menyatakan RI sudah hancur dan tidak ada lagi. Jendral Soedirman menolak menyerah dan mulai bergerilya di hutan-hutan dan desa-desa di sekitar kota Yogyakarta dan Surakarta.
Untuk membantah klaim Belanda, maka Jendral Soedirman merencanakan "Serangan Oemoem" yaitu serangan besar-besaran yang bertujuan menduduki kota Yogyakarta dan Surakarta selama beberapa jam. "Serangan Oemoem" di Surakarta terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949 dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Untuk memperingati peristiwa ini maka jalan utama di kota Surakarta dinamakan "Jalan Slamet Riyadi".
Kepemimpinan Slamet Riyadi - yang gugur di pertempuran melawan gerakan separatis RMS - pada Serangan Umum ini sangat mengejutkan pimpinan tentara Belanda (Van Ohl ?), yang sempat berkata Slamet Riyadi lebih pantas menjadi anaknya, ketika acara penyerahan kota Solo.

1998-sekarang

Mal Ratu Luwes di Pasar Legi yang terbakar
Pada tahun Kerusuhan Mei 1998, tepatnya tanggal 14-15 Mei, terjadi pembakaran dan pengrusakan rumah-rumah penduduk serta fasilitas-fasilitas umum sehingga menyebabkan kota Solo lumpuh selama beberapa hari. Berbagai bangunan di Jalan Slamet Riyadi menjadi sasaran anarki massa. Kantor-kantor, bank-bank, serta kawasan pertokoan, antara lain Matahari Beteng, dirusak dan dijarah massa. Mobil-mobil di jalanan dibakar dan dihancurkan. Di sejumlah kawasan Solo lainnya seperti di Nusukan, Gading, Tipes, Jebres, serta hampir seluruh penjuru kota juga meletus aksi serupa. Kerusuhan kian meluas. Massa di hampir seantero kota turun ke jalan melakukan pelemparan dan pembakaran bangunan maupun mobil dan motor. Bahkan juga penjarahan. Asap mengepul di mana-mana. Di Jalan Slamet Riyadi yang semula hanya terjadi pelemparan, berganti pembakaran. Di antaranya Wisma Lippo Bank dan Toko Sami Luwes. Supermarket Matahari Super Ekonomi (SE), serta Cabang Pembantu (Capem) Bank BCA di Purwosari, yang semula hanya dilempari, akhirnya dibakar. Di Solo bagian utara, massa membakar Terminal Bus Tirtonadi. Tak kurang dari empat bus ikut dibakar. Di Solo bagian barat, amuk massa juga menerjang Kantor Samsat, Jajar. Selain itu, Plasa Singosaren berlantai tiga turut pula dihanguskan. Monza Dept Store di sebelahnya, diremuk, juga toko sepatu Bata dan beberapa toko lain. Peristiwa kerusuhan juga terjadi di kawasan Gading dan sekitarnya.[5][6]
Kerusuhan tak hanya di Solo. Massa di barat Kampus UMS bergerak ke barat dan melakukan kerusuhan di Kartasura. Mereka membakar Kantor Bank BCA, Lippo, Danamon serta ATM BII, di samping pertokoan serta sebuah supermarket di Jalan Raya Kartasura, Sukoharjo, Toserba Mitra. Diler Suzuki, salon, toko kain, toko elektronik serta toko mebel dibakar. Pada Jumat 15 Mei, aksi perusakan dan pembakaran masih berlanjut. Sekitar pukul 07.00 WIB masyarakat dikejutkan oleh asap hitam tebal yang membubung ke angkasa dari kawasan Gladak. Ternyata, Plasa Beteng telah dibakar massa. Setelah itu berturut-turut sejumlah tempat yang semula luput dari amukan massa pada hari sebelumnya, akhirnya disasar juga. Toserba Ratu Luwes, Luwes Gading, pabrik plastik di Sumber serta puluhan tempat lain dibakar dan dijarah massa. Begitu juga pembakaran terhadap kendaraan roda dua dan empat masih terjadi di beberapa jalanan. [5]
Kerusuhan kemudian merambat menjadi kerusuhan rasial, para perusuh itu menyerang pertokoan yang kebanyakan milik orang Tionghoa, tergambar dengan hampir semua toko di eks Karesidenan Surakarta (Solo Raya) tertulis ‘Milik Pribumi’, sekalipun tulisan itu bukan cara ampuh untuk menghindari perusakan, penjarahan hingga pembakaran. [5]
Siang hari tanggal 14 Mei peristiwa tersebut selesai. Banyak toko-toko besar yang hangus terbakar seperti Pasar Singosaren, SE Purwosari hingga rumah Harmoko dan bioskop di Solo Baru juga tidak luput dari bidikan massa. Menurut saksi mata, amuk massa di Solo, 14-15 Mei itu, ada yang memprovokasi. Dua saksi, seorang guru dan seorang alumnus sebuah PTS menyatakan pelaku kerusuhan adalah sekelompok orang dengan dandanan khas. ”Mereka berkelompok 10 sampai 20 orang, menutup muka dengan sapu tangan dan melakukan provokasi sepanjang jalan agar warga ikut merusak.” Kedua orang itu menyatakan kesaksian mereka dalam dialog kerusuhan yang diadakan SMPT UMS, 12 Juni. Ketika asap kebakaran mulai sirna dan emosi massa mulai menurun, baru diketahui bahwa kerusuhan selama dua hari itu ternyata telah menelan korban jiwa 33 orang. Mayat mereka yang telah dalam keadaan hangus diketahui setelah dilakukan bersih-bersih atas puing-puing amuk massa. Dari 33 mayat itu, 14 di antaranya ditemukan terpanggang di dalam bangunan Toserba Ratu Luwes Pasar Legi. Sedangkan 19 lainnya terpanggang di Toko Sepatu Bata kawasan Coyudan. Di sisi lain, akibat banyaknya toko, swalayan, dan tempat usaha lain (lebih dari 500 buah) dirusak massa, mengakibatkan sekitar 50.000 hingga 70.000 tenaga kerja Solo menganggur. Menurut catatan Akuntan Publik Drs Rachmad Wahyudi Ak MBA, yang juga Managing Partner KAP Djaka Surarsa & Rekan Solo, kerugian fisik usaha yang ada di plasa dan supermarket mencapai sekitar Rp 189 miliar. Sementara, nilai total kerugian di Solo total Rp 457,5 miliar[7][5], sementara sumber lain memperkirakan kerugian mencapai 600 miliar[8]
Dua bulan setelah kerusuhan lewat, Solo di malam hari masih seperti kota mati, seperti di hari-hari dekat setelah kerusuhan. Toko-toko, juga kantor bank, masih poranda dan sebagian atau seluruhnya hangus bekas dibakar–Toko Serba-ada Super Ekonomi, Bank Central Asia, Bank Bill, warung Pizza Hut, Pasar Swalayan Gelael, Toko Serba-ada Sami Luwes, Toko Elektronik Idola, dan sejumlah toko kecil. Pascatragedi tersebut, berbagai wajah bangunan dan pertokoan di beberapa wilayah Kota Solo juga tampak mengalami perubahan. Perubahan itu bisa ditandai dengan berubahnya wajah bangunan itu menjadi bangunan yang lebih rapat, tertutup dan dihiasi oleh terali-terali besi. Bangunan yang secara arsitektur dulunya terbuka dan berwarna transparan tersebut, kini menjadi tertutup. Wajah lain yang tampak adalah mulai banyak hadirnya pintu dan portal di mulut gang-gang kampung. Pintu dan portal itu kebanyakan terbuat dari besi, dan di beberapa tempat dilengkapi oleh pos jaga/pos satpam, dan pada jam-jam tertentu bahkan ditutup rapat-rapat, sehingga tak memungkinkan orang bebas keluar masuk. Tak hanya perumahan elite, namun kampung-kampung juga. Jika ada yang masuk dan keluar, semuanya bisa terpantau, terawasi dan terkontrol.[5]
Beberapa bulan usai kerusuhan Mei, di penghujung tahun 1998, Kota Solo kembali menderita kerusakan meski tidak begitu parah. Pos-pos polisi dan rambu-rambu jalan dirusak dan dibakar anak-anak muda yang marah karena ditertibkan polisi saat balapan liar di jalan umum. [5]
Data kerusuhan Mei 1998 di Solo[9]
No. Jenis Tingkat kerusakan Jumlah
1 Perkantoran/Bank Dibakar/dirusak 56
2 Pertokoan/ swalayan Dibakar 27
3 Toko Dibakar/dirusak 217
4 Rumah makan Dibakar 12
5 Showroom motor/mobil Dibakar/dirusak 24
6 Tempat pendidikan Dirusak 1
7 Pabrik Dibakar 8
8 Mobil/truk Dibakar 287
9 Sepeda Motor Dibakar 570
10 Bus Dibakar 10
11 Gedung bioskop Dibakar 2
12 Hotel Dibakar 1
Balaikota Surakarta yang baru
Kerusuhan kembali terjadi pada Oktober 1999 seiring gagalnya Megawati memenangi pemilihan presiden dalam SU MPR. Balaikota, kantor pembantu gubernur, sejumlah kantor bank, serta fasilitas-fasilitas publik lainnya rata dengan tanah setelah dibakar massa pada hari itu juga. Julukan kota sumbu pendek semakin melekat bagi Solo. Sejarawan Solo Sudarmono, mencatat sejak 1965 hingga 1999 telah terjadi 8 kali kerusuhan berskala kecil maupun besar di kota pusat kebudayaan Jawa tersebut.[5]
Hingga saat ini tidak ada dibangun monumen untuk memperingati hal ini, dan lembaran hitam sejarah ini mulai dilupakan penduduk kota Solo.
Pada tanggal 29 Oktober 2000, dan kembali pada 23 September 2001, menyusul serangan 11 September, kelompok garis keras "Laskar Islam Surakarta" melancarkan aksi penyisiran warna negara asing yang tinggal di Solo.
Sehubungan dengan terorisme, wilayah di sekitar Solo dikenal sebagai basis beberapa kelompok garis keras, seperti pesantren di Ngruki yang dipimpin oleh Abu Bakar Baasyir. Pada tanggal 3 Desember 2002, Ali Ghufron atau "Mukhlas", seorang tersangka Bom Bali dan pemimpin Jemaah Islamiyah, ditangkap di dekat Surakarta bersama dengan beberapa orang lainnya.
Kecelakaan transportasi yang terjadi di wilayah Solo antara lain: Lion Air Penerbangan 538 (30 November 2004) yang menyebabkan 26 orang meninggal dunia dan Kecelakaan kereta api di Solo 2010 yang menyebabkan satu orang meninggal di rumah sakit.
Sejak 2005, setelah Joko Widodo terpilih menjadi Wali Kota Solo, kota Solo perlahan-lahan bangkit kembali dan bangunan-bangunan yang terbakar yang dibiarkan tidak terurus mulai satu per satu dibersihkan.

Logo Keraton surakarta



 Logo Kota Suarakarta


Tuesday, August 27, 2013

Yogyakarta History


FILOSOFI GARIS LURUS GUNUNG MERAPI-KRATON JOGJA-TUGU DAN PARANGTRITIS

Ini benar-benar nyata, bahwa Gunung Merapi - Keraton Yogya - Tugu - Pantai Selatan (Parangtritis) ada dalam satu garis lurus, kalau kita lihat dari foto satelit. Bagaimana penjelasannya?


Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pantai Parang Kusumo di Laut Selatan, dan juga Gunung Merapi berada dalam satu garis lurus yang dihubungkan oleh Tugu Jogja di tengahnya.
Pengamatan citra satelit memang memperlihatkan lokasi-lokasi tersebut, berikut jalan yang menghubungkannya, hampir terletak segaris dan hanya meleset beberapa derajat.


Keberadaan garis imajiner tersebut dibenarkan oleh mantan Guru Besar Filsafat Universitas Gadjah Mada Profesor Damarjati Supadjar. "Garis imajiner itu sudah menjadi wacana lama," kata Damarjati kepada VIVAnews.com, Jumat 20 Oktober 2010.


Gunung Merapi terletak di perbatasan DIY dan Jawa Tengah, yang juga sebagai batas utara Yogyakarta. Disinilah garis lurus itu dimulai. Membujur ke arah selatan, terdapat Tugu Yogya.
Tugu menjadi simbol 'manunggaling kawulo gusti' yang juga berarti bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig). Simbol ini juga dapat dilihat dari segi mistis yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk (ciptaan).


Garis selanjutnya mengarah ke Keraton dan kemudian lurus ke selatan terdapat Panggung Krapyak.  Gedhong Panggung, demikian bangunan itu kini disebut,  merupakan podium batu bata setinggi 4 meter, lebar 5 meter, dan panjang 6 meter. Tebal dindingnya mencapai 1 meter.  Bangunan di sebelah selatan Keraton ini menjadi batas selatan kota tua Yogyakarta. Titik terakhir dari garis imajiner itu adalah Pantai Parang Kusumo, di Laut Selatan dengan mitos Nyi Roro Kidul-nya (mitos Nyai Roro Kidul atau Ratu Pantai Selatan, Klik di Sini). Seperti Merapi, pada titik ini juga ada juru kuncinya, yaitu RP Suraksotarwono.


Bagi Damarjati, daerah-daerah yang dilintasi garis lurus imajiner itu hanya 'kebetulan' saja terlintasi garis. Tetapi yang sesungguhnya memiliki arti adalah titik di masing-masing ujung imajiner, Merapi dan Laut Selatan.


Dua lokasi itu memiliki arti yang sangat penting bagi Keraton yang dibangun berdasarkan pertimbangan keseimbangan dan keharmonisan. Keraton merupakan titik imbang dari api dan air. Api dilambangkan oleh Gunung Merapi, sedangkan air dilambangkan pada titik paling selatan, Pantai Parang Kusumo. Dan keraton berada di titik tengahnya. "Keraton dan dua daerah itu merupakan titik keseimbangan antara vertikal dan horizontal," jelas Damarjati.
Keseimbangan horizontal dilambangkan oleh Laut Selatan yang mencerminkan hubungan manusia dengan manusia. Sedangkan Gunung Merapi melambangkan sisi horizontal yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa.


Filosofi garis lurus imajiner dari Merapi hingga Laut  Selatan ini sarat kearifan lokal. Damarjati menyarankan pemimpin di negeri ini harus peka terhadap peristiwa letusan Merapi yang menewaskan sang juru kunci. Menurut dia,  magma dalam gunung Merapi itu tidak boleh tersumbat untuk memuntahkan laharnya. Karena kalau tersumbat, dan terlambat, maka akan mengakibatkan letusan yang luar biasa. "Seperti kalau suara rakyat tersumbat, maka akan terjadi revolusi sosial.”  
 

Keistimewaan Yogya : Garis Lurus dari Merapi sampai Laut Selatan


Kita semua pasti tahu kalau Yogyakarta itu terkenal sebagai Kota Pelajar, Kota Kebudayaan, ataupun Kota Gudeg dengan Sri Sultan HB X sebagai Kepala Pemerintahan dan sekaligus sebagai Raja Yogyakarta. Jogja dengan berbagai mitos yang dipercaya oleh masyarakat seperti Nyi Roro Kidul sebagai Ratu Pantai Selatan ataupun Ki Sapu Jagad Sang Penjaga Gunung Merapi.
Sebenarnya masih ada 1 lagi mitos Jogjakarta yang hampir terlupakan. Yang dimaksud disini adalah GARIS LURUS yang MEMBENTANG dari UJUNG UTARA hingga SELATAN YOGYAKARTA. Konon kabarnya, dalam mitos yang selama ini diyakini, ada hubungan antara Merapi, Keraton Yogyakarta dan Laut Selatan. Selain itu, garis lurus ini juga menggambarkan bahwa Gunung Merapi sebagai batas utara Yogyakarta, Pantai Selatan sebagai batas selatannya dan dengan Kraton sebagai Poros atau Pengaturnya.
Yang mendasari terbentuknya garis ini sebenarnya bukan hanya 3-4 tempat tersebut. Untuk lebih detailnya, berikut diulas satu persatu, dari ujung utara sampai selatan :
1. Gunung Merapi
Keistimewaan Yogya : Garis Lurus dari Merapi sampai Laut Selatan
Gunung Merapi sebagai batas utara Yogyakarta dan disinilah garis lurus itu dimulai.
2. Tugu Yogyakarta
Keistimewaan Yogya : Garis Lurus dari Merapi sampai Laut Selatan
Tugu golong gilig atau tugu pal putih (white paal) merupakan penanda batas utara kota tua Yogyakarta. Semula bangunan ini berbentuk seperti tongkat bulat (gilig) dengan sebuah bola (golong) diatasnya. Bangunan ini mengingatkan pada Washington Monument di Washington DC. Pada tahun 1867 bangunan ini rusak (patah) karena gempa bumi yang juga merusakkan situs Taman Sari. Pada masa pemerintahan Sultan HB VII bangunan ini didirikan kembali.
Namun sayangnya dengan bentuk berbeda seperti yang dapat disaksikan sekarang. Ketinggiannya pun dikurangi dan hanya sepertiga tinggi bangunan aslinya. Lama-kelamaan nama tugu golong gilig dan tugu pal putih semakin dilupakan seiring penyebutan bangunan ini sebagai Tugu Yogyakarta.
3. Malioboro
Keistimewaan Yogya : Garis Lurus dari Merapi sampai Laut Selatan
Malioboro adalah suatu pusat perbelanjaan yang sejajar dengan jalan lurus dari Tugu jogja menuju Kraton.
4. Alun-Alun Utara
Keistimewaan Yogya : Garis Lurus dari Merapi sampai Laut Selatan
Selain berfungsi sebagai media pertemuan Sultan dengan Rakyatnya, di Alun2 Utara juga terdapat pohon beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) yang berjumlah 64 (termasuk dua ringin kurung) yang melambangkan usia Nabi Muhammad. Dua pohon beringin di tengah Alun-alun Utara menjadi lambang makrokosmos (K. Dewodaru, dewo=Tuhan) dan mikrokosmos (K. Janadaru, jana=manusia).
5. Keraton Yogyakarta
Keistimewaan Yogya : Garis Lurus dari Merapi sampai Laut Selatan
Keraton Yogyakarta atau dalam bahasa aslinya Karaton Kasultanan Ngayogyakarta merupakan tempat tinggal resmi para Sultan yang bertahta di Kesultanan Yogyakarta. Keraton artinya tempat dimana ‘Ratu’ (bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja) bersemayam.
Keraton Yogyakarta tidak didirikan begitu saja. Banyak arti dan makna filosofis yang terdapat di seputar dan sekitar keraton. Selain itu istana Sultan Yogyakarta ini juga diselubungi oleh mitos dan mistik yang begitu kental. Filosofi dan mitologi tersebut tidak dapat dipisahkan dan merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang bernama keraton.
6. Plengkung Gading
Keistimewaan Yogya : Garis Lurus dari Merapi sampai Laut Selatan
Plengkung Gading yang bernama asli Plengkung Nirboyo merupakan pintu selatan dari komplek Kraton Yogyakarta.
7. Panggung Krapyak
Keistimewaan Yogya : Garis Lurus dari Merapi sampai Laut Selatan
Panggung krapyak atau sering disebut Kandhang Menjangan dibangun oleh Sultan HB I dan saat ini merupakan benda cagar budaya. Gedhong panggung, demikian disebut, merupakan sebuah podium dari batu bata dengan tinggi 4 m, lebar 5 m, dan panjang 6 m. Tebal dindingnya mencapai 1 m. Bangunan ini memiliki 4 pintu luar, 8 jendela luar, serta 8 pintu di bagian dalam.
Atap bangunan dibuat datar dengan pagar pembatas di bagian tepinya. Untuk mencapainya tersedia tangga dari kayu di bagian barat laut. Bangunan bertingkat ini disekat menjadi 4 buah ruang. Dahulu tempat ini digunakan sebagai lokasi berburu menjangan oleh keluarga kerajaan.
8. Pantai Selatan (Cepuri)
Keistimewaan Yogya : Garis Lurus dari Merapi sampai Laut Selatan
Pantai selatan dengan mitosnya Nyi Roro Kidul memang sudah terkenal. Sedangkan Cepuri, yaitu tempat Upacara Labuhan Pantai Selatan yang terletak di Pantai Parangkusumo atau sebelah barat Parangtritis. Dan disinilah garis itu diakhiri.
Keistimewaan Yogya : Garis Lurus dari Merapi sampai Laut Selatan
Dan inilah Garis Lurusnya…!!!!!!
Keistimewaan Yogya : Garis Lurus dari Merapi sampai Laut Selatan
 

Footer Widget 1

Footer Widget 3

Sejarah

Daftar pemenang Tahun Negara Miss World Tanggal Lahir Lokasi Venue Akhir Tanggal Kontes Banyak Delegasi 1951 Swedia Kicki Håkansson c. 1929 London, UK Lyceum Theatre 29 Juli 26 1952 Swedia May Louise Flodin c. 1932 London, UK Lyceum Theatre 14 Nov 11 1953 Perancis Denise Perrier 1935 London, UK Lyceum Theatre 19 Okt 15 1954 Mesir Antigone Costanda c. 1935 London, UK Lyceum Theatre 18 Okt 16 1955 Venezuela Susana Duijm 11 Ags 1936 London, UK Lyceum Theatre 20 Okt 21 1956 Jerman Petra Schürmann[b] 15 Sep 1935 London, UK Lyceum Theatre 15 Okt 24 1957 Finlandia Marita Lindahl 17 Okt 1938 London, UK Lyceum Theatre 14 Okt 23 1958 Afrika Selatan Penelope Anne Coelen 15 Apr 1940 London, UK Lyceum Theatre 13 Okt 22 1959 Belanda Corine Rottschäfer 8 Mei 1938 London, UK Lyceum Theatre 10 Nov 37 1960 Argentina Norma Gladys Cappagli 1939 London, UK Lyceum Theatre 8 Nov 39 1961 Britania Raya Rosemarie Frankland[b] 1 Feb 1943 London, UK Lyceum Theatre 9 Nov 37 1962 Belanda Catharina Lodders 1940 London, UK Lyceum Theatre 8 Nov 33 1963 Jamaika Carole Joan Crawford 1941 London, UK Lyceum Theatre 7 Nov 40 1964 Britania Raya Ann Sidney 1944 London, UK Lyceum Theatre 12 Nov 42 1965 Britania Raya Lesley Langley 1945 London, UK Lyceum Theatre 19 Nov 48 1966 India Reita Faria 1945 London, UK Lyceum Theatre 17 Nov 51 1967 Peru Madeline Hartog-Bell 1946 London, UK Lyceum Theatre 16 Nov 55 1968 Australia Penelope Plummer 1948 London, UK Lyceum Theatre Nov. 14 53 1969 Austria Eva Rueber-Staier 1951 London, UK Royal Albert Hall Nov. 27 50 1970 Grenada Jennifer Hosten 12 Mar 1948 London, UK Royal Albert Hall Nov. 20 58 1971 Brazil Lúcia Petterle 1949 London, UK Royal Albert Hall Nov. 10 56 1972 Australia Belinda Roma c. 1952 London, UK Royal Albert Hall Dec. 1 53 1973 USA Marjorie Wallace 23 Jan 1954 London, UK Royal Albert Hall Nov. 23 54 1974 Britania Raya Helen Morgan (Resigned) 1951 London, UK Royal Albert Hall Afrika Selatan Anneline Kriel 28 Juli 1955 Nov. 22 58 1975 Puerto Rico Wilnelia Merced 12 Okt 1957 London, UK Royal Albert Hall Nov. 20 67 1976 Jamaika Cindy Breakspeare 24 Okt 1954 London, UK Royal Albert Hall Nov. 18 60 1977 Swedia Mary Stävin 20 Ags 1957 London, UK Royal Albert Hall Nov. 17 62 1978 Argentina Silvana Suárez 29 Sep 1958 London, UK Royal Albert Hall Nov. 16 68 1979 Bermuda Gina Swainson 1958 London, UK Royal Albert Hall Nov. 15 69 1980 Jerman Gabriella Brum (Resigned) 22 Mar 1962 London, UK Royal Albert Hall Guam Kimberley Santos 21 Ags 1961 Nov. 13 67 1981 Venezuela Pilín León 19 Mei 1963 London, UK; Miami, USA Royal Albert Hall Nov. 12 67 1982 Rep. Dominika Mariasela Álvarez 31 Jan 1960 London, UK Royal Albert Hall Nov. 18 68 1983 Britania Raya Sarah-Jane Hutt 1964 London, UK Royal Albert Hall Nov. 17 72 1984 Venezuela Astrid Carolina Herrera 23 Juni 1963 London, UK Royal Albert Hall Nov. 15 72 1985 Islandia Hólmfríður Karlsdóttir 6 Juni 1963 London, UK Royal Albert Hall Nov. 14 78 1986 Trinidad & Tobago Giselle Laronde 24 Okt 1963 London, UK; Macau Royal Albert Hall Nov. 13 77 1987 Austria Ulla Weigerstorfer 1967 London, UK; Malta Royal Albert Hall Nov. 12 78 1988 Islandia Linda Pétursdóttir 27 Des 1969 London, UK; Málaga, Spain Royal Albert Hall Nov. 17 84 1989 Polandia Aneta Beata Kręglicka 23 Mar 1965 Hong Kong; Taipei, Taiwan Hong Kong Convention & Exhibition Centre Nov. 22 78 1990 USA Gina Marie Tolleson 1970 London, UK; Norwegia London Palladium Nov. 8 81 1991 Venezuela Ninibeth Leal 26 Nov 1970 Atlanta, US; Afrika Selatan Georgia World Congress Center Dec. 28 78 1992 Russia Julia Kourotchkina 10 Ags 1974 Sun City, Afrika Selatan Sun City Entertainment Centre Dec. 12 83 1993 Jamaika Lisa Hanna 20 Ags 1975 Sun City, Afrika Selatan Sun City Entertainment Centre Nov. 27 81 1994 India Aishwarya Rai 1 Nov 1973 Sun City, Afrika Selatan Sun City Entertainment Centre Nov. 19 87 1995 Venezuela Jacqueline Aguilera 17 Nov 1976 Sun City, Afrika Selatan; Dubai, UAE; Comoros Sun City Entertainment Centre Nov. 18 84 1996 Yunani Irene Skliva 4 Apr 1978 Bangalore, India; Seychelles Bangalore Cricket Stadium Nov. 23 88 1997 India Diana Hayden 1 Mei 1973 Mahé, Seychelles Plantation Club Nov. 22 86 1998 Israel Linor Abargil 17 Feb 1980 Mahé, Seychelles; Paris, France Lake Berjaya Mahé Resort 26 Nov 86 1999 India Yukta Mookhey 7 Okt 1979 Malta; London, UK Olympia Hall 4 Des 94 2000 India Priyanka Chopra 18 Juli 1982 London, UK; Maldives Millennium Dome 30 Nov 95 2001 Nigeria Agbani Darego 22 Des 1982 Sun City, Afrika Selatan; Victoria Falls, Zimbabwe Sun City Entertainment Centre 16 Nov 93 2002 Turki Azra Akın 8 Des 1981 London, UK; Abuja, Nigeria Alexandra Palace 7 Des 88 2003 Republik Irlandia Rosanna Davison 17 Apr 1984 Sanya, China PR Crown of Beauty Theatre 6 Des 106 2004 Peru María Julia Mantilla July 10, 1984 Sanya, China PR Crown of Beauty Theatre Dec. 4 107 2005 Islandia Unnur Birna Vilhjálmsdóttir 25 Mei 1984 Sanya, China PR Crown of Beauty Theatre 10 Des 102 2006 Rep. Ceko Taťána Kuchařová 23 Des 1987 Warsawa, Polandia Sala Kongresowa, Warsaw Palace of Culture and Science 30 Sep 104 2007 China PR Zhang Zilin 22 Mar 1984 Sanya, China PR Crown of Beauty Theatre Dec. 1 106 2008 Rusia Ksenia Sukhinova 26 Ags 1987 Johannesburg, Afrika Selatan Sandton Convention Centre 13 Des 109 2009 Gibraltar Kaiane Aldorino 8 Juli 1986 Johannesburg, Afrika Selatan; London, UK; Abu Dhabi, UAE Gallagher Convention Centre 12 Des 112 2010 Amerika Serikat Alexandria Mills 26 Feb 1992 Sanya, China PR; Beijing, China PR; Ordos City, China PR; Shanghai, China PR Crown of Beauty Theatre 30 Okt 115 2011 Venezuela Ivian Sarcos 26 Juli 1989 London, UK; Edinburgh dan Glasgow, Scotland Earls Court Exhibition Centre 6 Nov 113 2012 China PR Yu Wenxia 6 Ags 1989 Ordos City, China PR; Shanghai, China PR; Changshu, China PR Dongsheng Fitness Center Stadium 18 Ags 116 2013 Sentul, Bogor, Indonesia Sentul International Convention Center 14 Sep 126 Catatan Sudah meninggal

Random Post

Random Post

Random Post

Random Post

Pages

clock

Pages

Powered by Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts

Followers